DPRD Kaltim Turun Tangan Tangani Sengketa Lahan antara Ahli Waris dan Keuskupan Samarinda

Wakil Ketua Komisi I DPRD Kaltim, Agus Suwandi

Samarinda – Konflik kepemilikan tanah antara pihak keluarga Hairil Usman—yang merupakan ahli waris dari mendiang Djagung Hanafiah—dengan Keuskupan Agung Samarinda, kini resmi menjadi perhatian Komisi I DPRD Kalimantan Timur. Sengketa ini berkaitan dengan sebidang tanah yang terletak di Jalan Damanhuri II RT 29, Kelurahan Mugirejo, Kecamatan Sungai Pinang, Kota Samarinda.

Kuasa hukum Hairil Usman, Mukhlis Ramlan, menjelaskan bahwa tanah tersebut awalnya dibeli secara cicilan oleh Djagung Hanafiah dari pasangan Margaretha dan suaminya pada tahun 1988 dengan ukuran 20×30 meter. Namun, seiring waktu, muncul dugaan bahwa luas lahan tersebut berubah secara signifikan hingga mencapai sekitar 4.000 meter persegi dan dialihkan kepada Keuskupan tanpa penyelesaian hukum yang jelas.

Bacaan Lainnya

“Luas awalnya hanya 600 meter persegi, tapi sekarang diduga membengkak jadi 4.000 meter. Ada indikasi pergeseran status dan luas tanpa dasar dokumen yang valid. Kami pernah mediasi pada 8 September 2017 di Kecamatan Sungai Pinang, tapi tak ada kejelasan soal dokumen hibah dari Margaretha kepada Keuskupan,” ujar Mukhlis.

Ia menambahkan, sejauh ini Keuskupan hanya menerima surat pelepasan hak atas sebagian kecil lahan, yakni seluas 974 meter persegi. Dengan belum adanya penyelesaian menyeluruh, pihak Hairil Usman memutuskan membawa persoalan ini ke DPRD Kaltim agar ditangani secara objektif dan terbuka.

“Klien kami tetap menahan diri. Tidak melakukan tindakan di lapangan karena kami sadar Keuskupan bisa jadi juga mendapatkan informasi yang tidak lengkap dari Margaretha. Tapi kami ingin penyelesaian yang adil, karena lahan ini kini sudah berdiri tempat ibadah,” terang Mukhlis.

Menanggapi hal tersebut, Wakil Ketua Komisi I DPRD Kaltim, Agus Suwandi menyatakan bahwa pihaknya akan menindaklanjuti perkara ini dengan mengedepankan prinsip musyawarah dan penyelesaian damai.

“Ini persoalan yang sensitif karena menyangkut rumah ibadah. Kami tidak ingin kegiatan keagamaan berlangsung di atas tanah yang masih dalam status sengketa. Oleh karena itu, kami akan minta dokumen dari Keuskupan untuk dikaji bersama BPN. Kepastian hukum sangat penting,” kata Agus.

Agus juga menyayangkan ketidakhadiran perwakilan Keuskupan dalam pertemuan perdana tersebut. Namun ia memastikan bahwa undangan resmi akan dikirim untuk pertemuan selanjutnya agar semua pihak bisa menyampaikan keterangan langsung.

“Selasa depan kita jadwalkan ulang. Fokusnya mendengarkan keterangan dari Keuskupan serta menelaah semua dokumen pendukung yang ada,” tutupnya.(adv)

Pos terkait