Pakai Jalan Negara dan Ganggu Usaha, DPRD Kaltim Soroti Ulah Perusahaan dan Ormas

Anggota Komisi III DPRD Kalimantan Timur, Jahidin

Samarinda – Komisi III DPRD Kalimantan Timur kembali menegaskan komitmennya dalam menjaga ketertiban penggunaan infrastruktur publik serta menertibkan organisasi masyarakat yang berpotensi mengganggu stabilitas daerah.

Dalam pernyataannya, anggota Komisi III, Dr. Jahidin, mengkritisi PT Kaltim Prima Coal (KPC) yang memanfaatkan Jalan Nasional Poros Sangatta–Bengalon sebagai jalur hauling batu bara meski tidak mengantongi izin resmi.

Bacaan Lainnya

ā€œYang mereka miliki hanya rekomendasi teknis. Itu tidak cukup. Secara hukum, yang dibutuhkan adalah izin resmi dari kementerian terkait. Jalan nasional bukan untuk kepentingan komersial tanpa dasar hukum,ā€ ujar Jahidin usai menghadiri penyerahan Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) atas LKPD Kaltim.

Ia menyebutkan dampak langsung dari aktivitas hauling ini kerap dirasakan pengguna jalan umum, terutama saat kendaraan KPC menyeberang dan petugas keamanan perusahaan menghentikan lalu lintas. Antrean panjang bisa terjadi hingga 20 menit, mengganggu mobilitas warga.

Komisi III mendorong agar KPC segera menyelesaikan jalan alternatif yang sebelumnya dijanjikan. Sebagai jaminan komitmen, Jahidin juga mengusulkan agar perusahaan membuat prosakte notariil, bukan sekadar pernyataan lisan atau tertulis tanpa kekuatan hukum.

ā€œPengalaman sebelumnya menunjukkan, kalau tidak diikat prosakte, seringkali janji itu tidak ditepati. Dengan akta notaris, kalau mereka ingkar, aset perusahaan bisa disita,ā€ tegasnya, mengingatkan pada banyaknya insiden serupa di masa lalu, termasuk 23 kasus ponton menabrak Jembatan Mahakam yang tak diikuti pertanggungjawaban memadai.

Tak hanya menyoroti persoalan infrastruktur, Komisi III juga menyoroti keberadaan organisasi masyarakat Gerakan Rakyat Indonesia Perkasa (GRIP) yang kini telah memiliki struktur di Samarinda.

Meskipun GRIP terdaftar di Badan Kesbangpol, Jahidin mengingatkan bahwa organisasi ini punya catatan hitam di wilayah lain. Ia menyebut penyegelan ilegal terhadap aset perusahaan sebagai bentuk pelanggaran yang tak bisa ditoleransi.

ā€œOrmas tidak boleh bertindak seperti aparat hukum. Apalagi sampai menyegel perusahaan. Ini membahayakan iklim investasi dan mengganggu dunia usaha,ā€ katanya.

Dampaknya bisa berantai. Jika pelaku usaha kehilangan rasa aman, kepercayaan terhadap daerah juga bisa menurun. Hal ini pada akhirnya akan berdampak langsung pada tenaga kerja dan ekonomi lokal.

ā€œKita tidak bisa membiarkan Kaltim menjadi tempat yang tidak ramah bagi investor. Kalau mereka angkat kaki, yang kehilangan pekerjaan justru rakyat,ā€ ujarnya.

Terkait hal itu, ia menyambut baik langkah Pemerintah Provinsi Kaltim yang berencana membentuk Satuan Tugas Anti Premanisme. Satgas ini disebutnya bisa menjadi forum koordinasi antara aparat penegak hukum, pemda, dan instansi lain dalam menindak ormas yang menyimpang dari tujuannya.

ā€œLangkah seperti ini penting untuk menjaga ketertiban umum. Tidak semua ormas berperan positif, dan negara harus hadir untuk mengawasi,ā€ ucapnya.

Secara hukum, pembinaan dan penertiban ormas mengacu pada UU Nomor 16 Tahun 2017 tentang Organisasi Kemasyarakatan, sementara pengaturan penggunaan jalan nasional berada di bawah Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 2006 tentang Jalan.

Jahidin juga mengungkapkan bahwa Komisi III akan menjadwalkan kunjungan kerja ke beberapa titik proyek pembangunan jalan nasional, termasuk ke Kutai Barat, untuk memastikan pelaksanaan proyek berjalan sesuai regulasi dan tidak dimanfaatkan oleh pihak yang tidak bertanggung jawab.(Adv)

Pos terkait